Kuningan, Jawa Barat – Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi untuk kegiatan penambangan galian C di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, kini di bawah sorotan tajam. Dadan Sudrajat, Kabiro kabarSBI Kabupaten Kuningan, memberikan peringatan keras kepada para pengusaha pertambangan. Ia menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku, khususnya terkait penggunaan BBM nonsubsidi dan perizinan.
Dadan menjelaskan bahwa UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta PP No. 96 Tahun 2021, mengatur secara rinci persyaratan perizinan usaha pertambangan, termasuk penambangan galian C. Pengusaha wajib memiliki Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) yang meliputi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.
Lebih lanjut, Dadan menjelaskan pentingnya penggunaan BBM nonsubsidi dalam operasional pertambangan. Ia menyarankan agar setiap perusahaan pertambangan menyediakan tangki BBM nonsubsidi di lokasi tambang untuk memudahkan pasokan langsung dari Pertamina. Jika penyimpanan BBM dilakukan untuk tujuan komersial, maka izin Usaha Penyimpanan Bahan Bakar Minyak wajib dipenuhi. Hal ini merujuk pada UU No. 12 Tahun 2001 dan PP No. 36 Tahun 2004 tentang penyimpanan BBM.
Dadan merinci persyaratan untuk mendapatkan izin penyimpanan BBM, antara lain: surat permohonan lengkap, rekomendasi Pertamina, salinan persetujuan prinsip, IMB, SIUP, NPWP, KTP pemohon, IPAL yang disahkan Dinas Lingkungan Hidup, dokumen UPL dan UKL (untuk industri skala kecil), dan gambar situasi tempat penyimpanan yang disahkan Dinas PU dan SKPD terkait.
Peraturan Menteri ESDM No. 10 Tahun 2012 juga menegaskan larangan penggunaan BBM jenis tertentu, termasuk Minyak Solar, untuk kegiatan pertambangan sejak 1 September 2012. Perkebunan dan pertambangan wajib menyediakan tempat penyimpanan BBM dengan kapasitas sesuai kebutuhan. Bahkan, Perpres No. 191 Tahun 2014 melarang kendaraan pengangkut hasil perkebunan atau pertambangan menggunakan BBM subsidi jenis solar.
Pelanggaran terhadap regulasi ini berpotensi menimbulkan sanksi berat. Peraturan BPH No. 07/P/BPHMIGAS/IX/2005 memberikan kewenangan kepada BPH Migas untuk menjatuhkan sanksi kepada lembaga penyalur yang menjual BBM subsidi kepada pihak yang tidak berhak, mulai dari teguran tertulis hingga pencabutan izin usaha. Lebih jauh lagi, penimbunan BBM dapat dijerat dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp50 miliar (Pasal 40 angka 8 UU No. 6 Tahun 2023 yang mengubah Pasal 53 UU No. 22 Tahun 2001). Penyimpanan BBM tanpa izin usaha penyimpanan juga dapat dipidana sesuai Pasal 53 huruf c UU No. 22 Tahun 2001, yaitu pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda maksimal Rp30 miliar.
Dadan Sudrajat berharap peringatan ini dapat diindahkan oleh seluruh pelaku usaha pertambangan galian C di Kabupaten Kuningan agar terhindar dari sanksi hukum yang berat. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan menjadi kunci keberlangsungan usaha yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Team Investigasi GMOCT